Bali, MNnews I Kawasan Jatiluwih, Kecamatan Penebel,
Kabupaten Tabanan telah mendapat pengakuan UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia
(WBD).
Kawasan Catur Angga Batukaru, termasuk Subak Jatiluwih dan
tiga kawasan lainnya yang merupakan satu-kesatuan ditetapkan UNESCO sebagai
Warisan Budaya Dunia (WBD), sejak 20 Juni 2012.
Sebagai kawasan WBD, kawasan Jatiluwih memerlukan pelestarian
dan keberlanjutan, yang harus ditata
sesuai dengan kriteria UNESCO tentang WBD.
Mengingat, kawasan
Jatiluwih juga berfungsi sebagai penopang air dalam bentuk sungai
hingga sumber mata air besar, seperti
keberadaan Tukad Yeh Ho serta mata air
yang ada di kawasan Jatiluwih.
Pasalnya, kawasan Jatiluwih juga masuk areal Catur Angga
Batukaru sebagai wilayah disucikan, yang ditetapkan oleh UNESCO, yang
sepatutnya tidak boleh dilakukan pembangunan akomodasi pariwisata, sejauh mata
memandang ke arah Gunung Batukaru.
Oleh karena itu,
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tabanan telah membentuk Forum Penataan
Tata Ruang (FPTR) yang anggota terdiri
dari masing-masing Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di Kabupaten Tabanan, pada bulan Maret 2025.
Bahkan, Forum Penataan Tata Ruang (FPTR) langsung diketuai oleh Sekda Tabanan dengan
anggota terdiri dari sejumlah Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait,
seperti Dinas Pekerjaan Umum Penataan Ruang, Perumahan dan Kawasan Permukiman
(PUPRPKP), Dinas Lingkungan Hidup (LH), Dinas Pariwisata dan Dinas Pertanian
Kabupaten Tabanan.
Tak hanya berfungsi mengendalikan pembangunan dan
pemanfaatan ruang di Kabupaten Tabanan, Forum Penataan Tata Ruang (FPTR)
juga bakal bekerja melakukan validasi data ruang dari setiap
perizinan elektronik yang terbit pada Online Single Submission (OSS).
Tak hanya itu, Forum Penataan Tata Ruang (FPTR) juga bertugas memberikan kajian dan melakukan
validasi data tentang Tata Ruang terhadap sebuah perizinan berusaha yang muncul
dalam OSS secara elektronik.
Menariknya, Forum Penataan Tata Ruang (FPTR) justru
menemukan sejumlah Pelanggaran Tata Ruang yang sudah terjadi, khususnya tentang alih fungsi lahan yang
dimulai dari titik nol jalur hijau, areal barat Gunung Batukaru hingga daerah
Gunung Batukaru, yang termasuk kawasan
Warisan Budaya Dunia (WBD) Jatiluwih.
Secara keluruhan,
ditemukan 13 bangunan akomodasi pariwisata yang melakukan pelanggaran di
kawasan WBD Jatiluwih terkait Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3 tahun 2023. Selain itu, juga melanggar WBD Landskep
Catur Angga Batukaru dan sekitarnya yang ditetapkan UNESCO.
Ironisnya, 13 bangunan itu berada di kawasan Lahan Sawah
Dilindungi (LSD), yang terindikasi
pembangunan akomodasi
pariwisata tersebut melakukan
pelanggaran, diantaranya Warung Metig Sari, Warung Anataloka, Warung
Krisna D Uma Jatiluwih, Warung Nyoman Tengox, Agrowisata Anggur, Cata Vaca
Jatiluwih, Warung Wayan, Gren e-bikes Jatiluwih, Warung Manik Luwih, Gong
Jatiluwih, Villa Yeh Baat, Warung
Manalagi dan The Rustic yang sekarang bernama Sunari Bali.
Sebelumnya, Kepala Dinas Pekerjaan Umum Penataan Ruang,
Perumahan dan Kawasan Permukiman (PUPRPKP) I Made Dedy Darmasaputra
menyebutkan, pembentukan Forum Penataan
Tata Ruang (FPTR) Kabupaten Tabanan, termasuk Dinas PUPRPKP Tabanan menjadi
anggota bertugas melakukan kesesuaian
lahan dan mengendalikan Tata Ruang, termasuk melakukan kajian Rencana Detail
Tata Ruang (RDTR) di Kabupaten Tabanan.
"Ini khan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) sudah
terbentuk, tinggal RDTR belum dan forum ini akan ikut membantu nantinya,"
kata Dedy Darmasaputra, saat dikonfirmasi awak media, Minggu, 2 Maret 2025.
Terlebih lagi, saat rapat beberapa waktu lalu, Forum
Penataan Tata Ruang (FPTR) Kabupaten Tabanan ini sudah membahas adanya indikasi
13 pelanggaran Tata Ruang yang terjadi di Jatiluwih, karena sudah menjadi
temuan.
Meski 13 usaha akomodasi pariwisata di DTW Jatiluwih memang
telah memiliki ijin OSS berusaha, tapi belum memiliki izin IMB atau sekarang
yang bernama Persetujuan Bangunan Gedung (PBG).
"Setiap perizinan OSS yang terbit, kemudian ada rencana
pembangunan fisik, kami Forum Penataan Ruang inilah yang melakukan validasi
data apakah sudah sesuai dengan RTRW Tabanan dan aturan," paparnya.
Dari pantauan di lapangan, belum tuntas 13 Pelanggaran Tata
Ruang, justru ditemukan tumpang tindih bangunan yang melanggar hingga
diketahui berjumlah melebihi 20
akomodasi pariwisata yang dirancang akan membabat lahan, guna melakukan
pelanggaran serupa.
Hal tersebut diakui salah seorang warga setempat, yang
mengaku turut serta memulai untuk membangun villa dan rumah makan (restoran) di
kawasan WBD Jatiluwih, dikarenakan hal serupa juga dilakukan tetangganya, yang
ternyata pelanggaran itu tidak dikenakan sanksi tegas.
"Jika sudah ada indikasi Sawah dan Ladang diubah
fungsinya, itu pelanggaran namanya. Disini ada dua yang patut ditaati, yaitu
Lahan Sawah Dilindungi (LSD) dan Warisan Budaya Dunia (WBD). Itu batasnya dari
desa tadi disitu sampai ke tikungan hingga barat ke Batukaru dan areal Batukaru
sudah dulu ada pelanggaran. Nah, karena tetangga sebelah membangun, saya juga
melakukan hal serupa. Toh juga tidak ada
sanksi tegas dari Pemerintah Daerah setempat," kata warga setempat, yang
tak mau disebutkan namanya, saat dikonfirmasi awak media di WBD Jatiluwih,
Minggu, 6 Juli 2025.
Hingga saat ini, warga juga mempertanyakan sikap Pemerintah
Daerah setempat yang belum melakukan
tindakan tegas apapun atas pelanggaran yang dilakukan.
Padahal, sudah diketahui ada sejumlah pelanggaran
pembangunan akomodasi pariwisata, yang disinyalir menghalangi pemandangan
Gunung dan Sawah Terasering yang menjadi ciri khas WBD Jatiluwih.
"Apa kerjanya Forum Penataan Tata Ruang (FPTR), kok
menambah pelanggaran. Itu berarti Forum itu juga salah, semua kena itu. Nah,
bagaimana ini, karena kini ada lagi sejumlah pelanggaran, jika dihitung bisa
melebihi 20 akomodasi pariwisata, tapi belum tuntas masalah 13 bangunan
melanggar Tata Ruang yang hingga kini belum juga ditindak tegas. Ini khan bisa
kacau WBD Jatiluwih terkait Tata Ruang. Itu melanggar Cagar Budaya Dunia dan
Lahan Sawah Dilindungi (LSD)," tegasnya lagi.
Hal senada juga diungkapkan Tokoh Masyarakat Jatiluwih yang
menyebutkan penanganan Lahan Sawah
Dilindungi (LSD) sangatlah rumit, karena kewenangan LSD tidak bisa ditangani
Bupati Tabanan, sehingga tidak mudah mengubah LSD, karena perlu banyak kajian.
Namun, patut dipertanyakan apakah jika pelanggaran aturan
Tata Ruang, yang semakin marak dikawasan Lahan Sawah Dilindungi (LSD), dan
Warisan Budaya Dunia (WBD) Jatiluwih, Bupati maupun wakil Bupati sebagai kepala
Daerah, apakah tidak kena sangsi ??, sesuai regulasi yang berlaku
Jika sejumlah pelanggaran tersebut tidak
ditindaklanjuti, warga khawatir akan
berimbas pada jumlah kunjungan wisatawan
bakal terus menurun ke Jatiluwih. Parahnya lagi, WBD Jatiluwih juga bakal
terancam dicabut oleh UNESCO, jika Pemkab Tabanan lamban menegakkan aturan.
Jika sudah diperingatkan masih juga membandel, maka
seharusnya bangunan yang melanggar Tata Ruang harus dibongkar.
"Itu pelanggaran bangunan bisa segera di-buldozer,
karena6 sudah dikirimin beberapa kali Surat Peringatan khan begitu. Jika tidak
juga masih membandel, ya harus dibongkar paksa," jelasnya.
Disinyalir lagi, bahwa
Forum Penataan Tata Ruang (FPTR)
yang didalamnya ada Dinas PUPRPKP jarang turun ke lapangan untuk
mengecek lagi kondisi terkini di lapangan. Hal tersebut berpotensi ada lagi sejumlah pelanggaran serupa yang
bakal dilakukan warga untuk membangun akomodasi pariwisata di Jatiluwih.
"Itu Forum sudah tiga bulan terbentuk, yang semestinya
Dinas PUPRPKP yang berikan Sanksi Peringatan itu. Belum selesai peringatan itu,
ada beberapa lagi pelanggaran
ditemukan," sebutnya.
Adanya sejumlah pelanggaran hingga muncul lagi pelanggaran
serupa, ternyata belum ada sikap tegas dari Forum Penataan Tata Ruang (FPTR)
Tabanan menyikapi sejumlah pelanggaran yang dilakukan sejumlah akomodasi
pariwisata tersebut.
"Ada baru lagi, kok belum bersikap, khan terus muncul
baru lagi banyak pelanggaran. Jadi, bagaimana fungsi Pemerintah, dalam hal ini
Forum Penataan Tata Ruang Tabanan (FPTR) Tabanan. Jika seperti ini kondisinya,
kami juga mengambil sikap serupa untuk membangun di kawasan Jatiluwih,"
tandasnya.
Jika melihat situasi seperti ini, warga lainnya juga
menimpali bakal ikut serta membangun akomodasi pariwisata, karena punya lahan
di jalur yang sama, meski dibangun dengan semi permanen.
"Saya dari dulu takut membangun akomodasi pariwisata,
karena saya tahu tempat saya masuk WBD Jatiluwih dan LSD. Waktu itu saya dicari
oleh Satpol PP Tabanan. Saya dilarang, sekarang
kok orang lain, tetangga saya malah bisa membangun akomodasi pariwisata
disitu. Ya, besok saya ikut juga membangun disini, meski kena jalur Cagar
Budaya Dunia," ungkapnya.
Patut diketahui, bahwa pembangunan villa bodong di areal Jatiluwih menuai musibah beberapa waktu
lalu, karena komposisi dan karakteristik tanah tidak cocok dibangun villa,
restoran dan akomodasi pariwisata lainnya.
"Karakteristik tanah disini tidak cocok dibangun Villa
dan Restoran, apalagi saat musim hujan bisa terjadi tanah longsor, seperti
kejadian beberapa waktu lalu sebuah
villa bodong dibangun di Jatiluwih terkena dampak tanah longsor,"
tegasnya.
(red/tim)
Posting Komentar